Efek Keluarga “Broken Home”
terhadap perkembangan anak
Sadar atau tidak
keluarga adalah faktor utama penentu kepribadian anak baru selebihnya berasal
dari lingkungannya. Orang tua ibarat induk ayam yang harus berjuang keras
mengerami telurnya untuk menetaskan anak harapan mereka. Jika orang tua memberi
contoh buruk secara tidak langsung sifat yang mereka contohkan menjadi doktrin
bahwa kekerasan adalah sebuah jalan dalam menyelesaikan permasalahan. Akibatnya
anak-anak yang dibesarkan dari keluarga broken home cenderung terlihat kasar,
keras kepala, egois, dan berkepribadian buruk.
Menurut Himas El-hakim “seorang anak yang mendapati perpecahan dan masalah pada
ayah ibunya akan memandang bahwa keluarga ini bermasalah, tidak memberikan rasa
nyaman padanya.
seorang anak, yang masih membutuhkan perhatian akhirnya tidak mendapat perhatian serius dari orang tua. Hal ini logis dikarenakan orang tuanya sendiri tidak mampu memberikan perhatian kepada pasangannya, bagaimana dengan anaknya. akhirnya anak tersebut memilih mencari perhatian diluar, bisa dari lingkungan, maupun teman sebayanya.
yang perlu dijadikan catatan bahwa ada peluang besar anak ini akan menjadi korban kejahatan dari lingkungan luarnya mengingat psikologi anak "broken home" cenderung labil dan mudah terombang ambing, karakter empuk bagi kriminal”.
seorang anak, yang masih membutuhkan perhatian akhirnya tidak mendapat perhatian serius dari orang tua. Hal ini logis dikarenakan orang tuanya sendiri tidak mampu memberikan perhatian kepada pasangannya, bagaimana dengan anaknya. akhirnya anak tersebut memilih mencari perhatian diluar, bisa dari lingkungan, maupun teman sebayanya.
yang perlu dijadikan catatan bahwa ada peluang besar anak ini akan menjadi korban kejahatan dari lingkungan luarnya mengingat psikologi anak "broken home" cenderung labil dan mudah terombang ambing, karakter empuk bagi kriminal”.
Sebuah penelitian yang dilakukan di University
of California, Los Angeles setelah mempelajari masalah dalam (kurang lebih)
2000 keluarga, membuktikan bahwa anak tetap menjadi korban ‘empuk’ dalam
pertikaian rumah tangga.
Efek pertikaian ini, biasanya akan
membuat si anak cenderung melakukan hal-hal negatif diluar kebiasaannya.
Ketidakstabilan emosiyang disebabkan, akan membuat si anak mencoba menggunakan
obat-obatan terlarang, mengonsumsi alkohol hingga melakukan seks bebas.
Untuk itu, berdasarkan observasi yang
telah dilakukan selama 30 tahun, menyatakan bahwa kedua orangtua yang sudah tak
lagi saling mencintai, sebaiknya jangan pernah hidup bersama dalam satu atap.
Menurut
pengalaman saya sendiri jika dalam keluarga sering terjadi cekcok anak
cenderung memilih untuk mencari suasana di luar atau kalau tidak mereka akan
menangis melihat keluarganya yang tidak seperti teman sebayanya. Kemudian anak
tersebut akan mempunyai dua karakter.
Pertama jika kelak ia dididik orang yang
berkepribadian baik dan ada faktor pendorong dirinya untuk menjadi orang yang
baikm maka ia akan cenderung susah bergaul dengan teman sebayanya karena
rasa malu tidak mendapat kasih sayang seperti anak sewajarnya, ia memiliki
kepekaan tinggi terhadap keadaan sekitarnya, mempunyai perhatian tinggi
terhadap orang yang mengalami nasib seperti dirinya dan ia cenderung menjadi
orang yang berkepribadian baik menurut orang disekitarnya, tetapi dia cenderung
menjadi orang yang sulit mendefinisikan persuit of happiness.
Kedua jika ia tidak mampu berfikir positif terhadap masa
lalunya maka ia akan cenderung bertindak anarkis, berkepribadian buruk dan jauh
dari kebiasaan terpuji. Akibatnya kriminal itu menjad kebiasasaan. Tetapi dapat
sifat yang kedua ini berubah jika ia telah menemukan jati dirinya alias jika ia
mempunyai kesadaran dan mau kembali pada jalan yang benar.
Broken home mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan
perkembangan anak. Adapun yang termasuk dalam broken home itu diantaranya :
1.
Akibat perceraian orang tua
2.
Kebudayaan bisu dalam
keluarga (tidak ada komunikasi antar anggota keluarga)
3.
Perang dingin dalam
keluarga (saling membenci antara sesama anggota keluarga)
berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan figur tertentu yang
nantinya bisa menjadi figure sample dalam
internalisasi nilai-nilai remajanya.jika peran orang tua ini tidak diberikan
pada anak, dimungkinkan anak
berkerpibadian kurang sehat dengan
perasaan terisolasi.
Proses pencarian identitas
akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas
(confused of Identity). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Yeri Abdillah (2003)
dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi daripada
rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.ini dikarenakan
mereka ingin mencari perhatian dari orang lain yang tidak ia dapatkan dari
orang tuanya walaupun itu dengan cara yang tidak sesuai, seperti misalnya ia
membuat keributan, suka bertengkar dan memengaruhi teman sebayanya dalam
hal-hal negatif.
Melihat dampak yang
begitu besar akibat Broken Home, maka orang tua sebaiknya tetap mencoba
memperlihatkan keharmonisan dalam keluarga. Anak juga haru s tetap diperhatikan
perkembangannya. Jangan sampai anak salah jalan akibat perilaku orang tua yang
tidak mencerminkan kepatutan. Apapun yang terjadi dalam keluarga anak adalah
prioritas masa depan. Jika terpaksa harus bercerai maka orang tua harus
pandai-pandai mengawasi perkembangan perilaku anak. Kalau sudah terlanjur tidak
ada yang patut disalahkan kecuali orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar