I.
ABSTRAK
Martabat Tujuh
merupakan bagian penting dari tradisi tasawuf masyarakat Jawa di Nusantara.
Ajaran ini sering kali ditemukan dalam Risalah Syattariyah di Gresik, Naskah
Asrar Al-Khafi karya Syaikh Abd. Al-Mutalib di Minagkabau dalam serat cangkriman
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita di Semarang, At- Tuchfah karya Syaikh
Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri dan lain sebagainya. Sebagai ajaran
sufistik-filosofis, ajaran martabat tujuh ini memiliki kaitan erat terhadap
tradisi intelektual dan tradisi tasawuf masyarakat Jawa. Dalam tasawuf Islam,
Martabat tujuh ini dikenal dengan wahdatul wujuh.
Kata Kunci : Martabat Tujuh, Tasawuf Jawa, Whdat al-Wujuh.
II.
LATAR BELAKANG
Pulau Jawa
adalah salah satu pulau dari sekian ribu kepulauan di Indonesia yang paling
padat penduduknya dan memiliki banyak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah
tersebut memiliki beberapa ciri khas dibandingkan dengan kebudayaan di daerah
lainnya. Kebudayaan tersebut merupakan bentuk kekayaan intelektual budaya
bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga keberadannya.
Salah satu
budaya Jawa yang sudah tak asing bagi kita adalah martabat tujuh. Ajaran
martabat ini berisikan gagasan mengenai manifestasi Tuhan dalam berbagai
tingkatan maupun hubungan antara Tuhan dan manusia (hamba) itu sendiri. Dalam
tasawuf Islam, martabat tujuh ini dikenal dengan wahdah al- wujuh (kesatuan
esensi realitas yang ada).
Wahdah al-wujuh
merupakan ilmu tentang ma’rifatullah yang di dalamnya menjelaskan bagaimana
Allah menyingkapkan diri pada makhluk, bagaimana Tuhan menyatu dalam diri
makhluk. Ini Seperti perkataan syekh siti jenar dalam saat walisongo
mengirimkan utusan untuk menemuinya. Ia mengatakan bahwa syehk siti jenar tidak
ada yang ada adalah Allah.
Jika perkataan
seperti ini dipahami oleh orang awwam akan menimbulkan berbagai kontroversi.
Bahkan orang yang mengatakan ini dikatakan telah keluar dari islam (murtad).
Tapi sebenarnya jika dipahami karena mungkin tingkatan orang tersebut telah
berbeda makanya penafsiran dan pandangannya pun juga berbeda.
Melihat
persolan seperti ini penulis ingin lebih dalam mengetahui bagaimana
sebenarnya martabat tujuh dalam budaya
jawa, bagaimana keterkaitan antara martabat tujuh dalam tradisi jawa dan
wahdatul wujuh dalam ilmu tasawuf, dan bagaimana solusi dalam menengahi
terhadap pertentangan tersebut.
III.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana martabat tujuh dalam tradisi masyarakat Jawa?
2.
Bagaimana martabat tujuh dalam Islam?
3.
Bagaimana sikap dalam menengahi penentangan terhadap martabat
tujuh?
IV.
PEMBAHASAN
A.
Martabat Tujuh dalam Tradisi Masyarakat Jawa
Martabat Tujuh
adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India
pada sekitar abad ke 16 M. Ajaran ini lebih populer di Aceh dan kemudian ikut
mewarnai Mistisisme di Jawa. Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan
pengembangan dari konsep wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi
(1165-1254) yang sudah masuk ke Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri
awalnya diajarkan oleh para leluhur muslim di tanah Jawa generasi Walisongo,
Khususnya Syekh Siti Jenar yang termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya
tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat
dirunut lewat Serat Kaki Walaka. [1]
Martabat
diartikan sebagai pencapaian hakekat, kasunyataan atau kenyataan (Martabat
Iya etgese akarya ing kenyataan). Martabat tujuh adalah ilmu mengenai
ma‘rifatullāh. Martabat tujuh menjelaskan bagaimana Allah menyingkapkan Diri
kepada makhluk. Tujuh tingkatan penyingkapan tersebut adalah martabat Aḥadiyah,
martabah Wahdah, martabat Wahidiyyah, martabat alam arwāh, martabat alam
mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat alam insan. Martabat pertama adalah ma‘rifat
tanzīh (pensucian), sedangkan martabat kedua sampai ketujuh adalah martabat
tashbīh (nyata).[2]
Ajaran Martabat
Tujuh adalah gagasan mengenai manifestasi Tuhan kedalam berbagai tingkatan.
Bibit awal teori manifestasi Tuhan tersebut dikembangkan oleh Ibnu Arabi, yang
memperkenalkan emanasi wujud Allah, melalui filsafat Neo-Platonisme. Ajaran
Ibnu Arabi dikenal dengan waḥdah al wujud (kesatuan wujud). Gagasan Ibnu Arabi
tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh Fadlullah Burhanpuri dalam kitab al-Tuḥfah
ke dalam teori Martabat Tujuh. Di Indonesia ajaran ini berkembang lewat
pemikiran Syamsuddin Sumatrani (murid Hamzah Fansuri), ajaran ini berkembang di
setiap daerah di Indonesia seperti Minangkabau, Jawa Barat, Buton.
Berikut beberapa
ajaran martabat tujuh yang terapat dalam kebudayaan jawa.
Dalam wirid
hidayat jati gubahan martabat Tujuh Model Ranggawarsita.
1
|
Sajaratul
yakin
|
Pohon
kehidupan atau atman dalam
agama Hindu
|
2
|
Nur Muhammad
|
Ia merupakan
sifat atma
|
3
|
Mi’ratul
Haya’i
|
Kaca wirai,
yang diidentikkan dengan
pramana dalam
Serat Dewa Ruci. Ia
merupakan
asma atma
|
4
|
Roh Idhofi
|
Nyawa yang
jernih
|
5
|
Kandil
|
Lampu tanpa
api, kandil juga diartikan
lampu yang
tergantung tanpa kaitan,
menjadi
bingkai atma
|
6
|
Dharrah
|
Artinya
permata dan diakaui sebagai
perhiasan zat
dan meriupakan pintu atma
|
7
|
Hijab
|
Tabir yang
agung dan merupakan tempat atma
|
Gubahan
martabat tujuh dalam model al-Palimbani
No
|
Penggunaan Intilah
Martabat Tujuh
|
Arti dan
makna
|
1
|
Ahadiyatul
Ahadiyyah (an la
ta’ayyun/zat
al-bahs)
|
Wujud Tuhan
adalah memandang dengan
hatinya akan
semata-mata wujut zat Tuhan
dengan
iktibar sifat, asma dan af’alnya
|
2
|
Al-wahidah
(al-ta’ayyun
al-awwal/haqiqat
almuhammadiyah)
|
Ilmu Tuhan
dengan wujud zat-Nya
dan segala
sifat dan segala maujud
perhimpunan
dengan tiada beda setengah
dengan
setengahnya
|
3
|
Al-wahidiyah
(haqiqat alinsaniyyah)
|
Ilmu Tuhan
mengenai zat-Nya , sifatNya,
dan segala
makhluk atas jalan
perceraiannya
setengahnya daripada
setengahnya
|
4
|
Alam arwah
(nur
Muhammad)
|
Keadaan
sesuatu yang halus semata-mata
yang belum
menerima susun dan berbeda
setengahnya
|
5
|
Alam misal
|
Keadaan suatu
yang halu, yang tiada
menerima
susun, yang tiada dapat
diceraikan
setengahnya daripada
setengahnya
dan tidak menerima pesuk
dan tiada
menerima bertampal
|
6
|
Alam al-ajsam
|
Ibarat
daripada keadaan suatu yang
dipersusun
daripada empat perkara: api,
angin, tanah,
dan air
|
7
|
Alam al-jami’ah (martabat
alinsan/al-ta’ayyun al-akhir)
|
Martabat yang
menghimpunan sekalian
martabat yang
enam di atas
|
Martabat tujuh
Model Hasan Musthafa.
No.
|
Penggunaan
Istilah MT
|
|
1
|
Lautan ahadiyat
|
Mirasa
katunggalan, dibukurna lautan
ajsam, mirasa
jisim sahiji (ketuggalan
asal
kekosongan
yang sama sekali kosong, gaib
al-guyub, tiada sesutupun, la ta’yun).
|
|
Lautan wahdat
|
Mirasa pada
mirasa, bulukarna ngambang
rasa, milang
dua jadi hiji, jisim dua jadi
hiji (ketunggalan
abdi dengan Gusti. Abdi
adalah
dirinya sendiri sedangkan Gusti
adalah yang
ada pada martabat ahadiyat)
|
|
Lautan
wahidiyah
|
Mirasa loba
bilangan, kapirasa jadi hiji,
bulukarna
milang nyawa, loba-loba rasa
hiji,
dibukuran ku jisimna, loba-loba rasa
hiji (berupa
hakikat muhammadiyah,
hakiakt dari
segala hakikat)
|
|
Lautan arwahna
|
Jisim
loba-loba rasa hiji, dibukuran ku
jisimna,
loba-loba rasa hiji (dunia nayawa
sebagai
potensi yang akan melakukan
penampakan
dan perwujudan menjadi jasad)
|
|
Lautan misal
|
Loba jisim
hiji rupa, asalna alam sahiji
(martabat di
mana potensi akan segera
menampakkan
diri dalam bentuk jasad
dengan makna
lain tidak ada bedanya orang
lain seperti saya, saya seperti orang lain).
|
|
Lautan ajsam
|
Kapirasa jadi
hiji, perbawa ti ahadiyat, lima
laut dumukna
di jisim hiji (ketunggalan
jasmani
sebagai cermin dari manifestasi
hakikat
muhammadiyah, sering juga
diibarwtkan
dengan kasar dengan kasar
halus dengan
halus)
|
|
Lautan
keisnsanan
|
Taya luhura
taya handap, asal sampurna
walatra, beda
soteh pangersana paniramana
(martabat
sempurna, tidak memiliki
kekuarangan, karena
citra sepenuhnya dari
martabat ahadiyat)
|
Dalam budaya
tradisi Masyarakat Jawa Konsep Martabat Tujuh dapat dilihat dari beberapa
contoh tradisi yang diantaranya
Slametan, tradisi Mitoni, ruwatan, puasa, perkawinan adat Jawa, Sedekah Bumi,
Nyadran dan lain sebagainya.
Salah satu adat
Jawa yang kemudian dimasukkan ajaran islam didalamnya adalah Nyadran. Nyadran
adalah salah satu bentuk upacara mengagungkan arwah leluhur. Upacara ini
dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam sesaji di rumah-rumah.
Adat ini dilakukan pada bulan ruwah (Jawa) atau Sya’ban (Islam) dengan cara
mengadakan tabur bunga di kubur (ziarah) kemudian orang-orang melakukan mandi
suci untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Upacara adat ini pada zaman
dahulu didahului dengan pemanggilan roh-roh halus, meminta berkah dan restu
pada arwah. Datangnya Islam mengubah adat tersbut dengan tetap menjalankan
ziarah dan tabur bungan, pembacaan doa dilakukan dengan cara Islami, membaca tahlil,
sedangkan roh dan permohonan doa pada ruh dihilangkan doa diarahkan pada Allah
Swt.[3]
Islam ternyata
telah mewarnai hampir seluruh dihidupan Masyarakat Jawa, sehingga tidak jarang
yang sebenarnya ajaran Islam diklaim sebagai khas Jawa. Menurut hemat saya
antara Islam dan Jawa jika berpadu akan melahirkan kearifan lokal yang Islami.
Antara Islam dan Budaya Jawa tidak boleh dipisahkan karena kebudayaan yang
telah ada akan selalu dipertahankan masyarakat selama hal tersebut sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
B.
Martabat tujuh dalam Islam
Martabat Tujuh
adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India
pada sekitar abad ke 16 M. Ajaran ini lebih populer di Aceh dan kemudian ikut
mewarnai Mistisisme di Jawa. Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan
pengembangan dari konsep wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi
(1165-1254) yang sudah masuk ke Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri
awalnya diajarkan oleh para leluhur muslim di tanah Jawa generasi Walisongo,
Khususnya Syekh Siti Jenar yang termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya
tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat
dirinut lewat Serat Kaki Walaka.
Secara bahasa
wahdat al-wujuh adalah ungkapan yang terdiri dari wahdal dan al-wujuh. Wahdat
artinya tunggal, atau kesatuan. Sedangkan wujud artinya ada, keberadaan atau
ekstensi. Dengan demikian wahdat al-wujuh adalah kesatuan eksistensi (unity of
exsistence).
Doktrin wahdat
al- wujuh senantiasa dihubungkan dengan seorang sufi yang bernama Ibnu Arabi
(560-638 H). Istilah wahdat al-wujuh ini bukan dimunculkan Ibn Arabi sendiri.
Menurut W.C Chittic, bahwa orang yang pertama menggunakan sitilah wahdat
al-wujuh adalah Sadr al-Din al-Qunawi (murid Ibn Arabi yang w. 673 H/ 1274 M).
Pemikiran ini bermula dari pandangannya dalam kitab “Futuhat al Makkiyah” yang
menyatakan bahwa “ semua wujud adalah satu dalam realitas, tidak sesuatupun
bersama dengannya. Wujud bukan lain adalah al-Haqq, karena tidak aad wujud lain
sesuatupun dalam wujud Dia. Tidak ada yang tampak dalam wujud melalui wujud
melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-haqq dan Dia adalah satu.
Paham wahdat
al-wujuh ini cenderung menyamakan Tuhan dengan alam semesta. Paham ini mengaku
tidak ada perbedaan antara Tuhan dan makhluk. Kalau ada hanya pada keyakinan
bahwa Allah SWT. Adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah bagian dari
totalitas tersebut, dan Allah menampakkan diri pada apa saja yang ada di alam
semesta. Semua adalah penjelmaan dari Allah Swt., tidak ada sesuatu apapun di
alam semesta ini kecuali Allah dan semua mata menjadi tidak ada karena mata
yang Dia menampakkan diri ke dalamnya.
Berikut ini martabat tujuh dalam perspektif QS. Al-Ikhlas[4]
Alam
|
Martabat
|
Simbol
|
Wujud
|
|
Alam Lahut
|
1.
Ahadiyah
|
Katakanlah
(Muhammad)” Dia adalah Tuhan yang Maha Esa”
|
ö@è% uqèd ª!$# î‰ymr&
|
La Ta’yun
|
Alam Jabarut
|
2.
Wahdah
|
Allah adalah
tempat beragantung segala sesuatu
|
ª!$# ߉yJ¢Á9$#
|
Ta’yun Awwal
|
|
3.
wahidiyah
|
Dia tidak
beranak
|
öNs9 ô$Î#tƒ
|
Ta’yun Tsani
|
Alam Malakut
|
4.
Alam Ruh
|
Dan Dia tidak
dperanakkan
|
öNs9ur ô‰s9qãƒ
|
A’yan
kharijiyyah
|
5.
Alam Mitsal
|
Dan tidak ada
bagi-Nya
|
öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©!
|
||
Alam Mulk
|
6.
Alam Ajsam
|
Penyetaraan
|
#·qàÿà2
|
|
7.
Alam Insan
|
Esa
|
7‰ymr&
|
Selain itu Dalam
Undang-Undang kerajaan Button masa Sultan Dayyan Ihsan al-Din
(1578-1615) disebutkan martabat Tujuh yang diantaranya:[5]
1.
Martabat Ahadiyah
Makna Aḥadīyah
di sini dapat dipahami sebagai wujud Allah semata-mata yang tidak dapat dilihat
oleh indera manusia, tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Walaupun di tengah
terang benderangnya cahaya matahari, maka manusia tidak akan pernah melihat
wujud Allah swt. Martabat Aḥadīyah sering disebut dengan sir al-asrār (sacred
of the sacred). Ia juga sering disebut dengan gudang yang tersembunyi atau gaib
al-guyūb, ḥaqīqah al-ḥaqā’iq. Aḥadīyah disebut ta‘ayyun pertama, di mana
nama-nama dan sifat-sifat (al-asmā’ wa al-auṣaf) masih belum teridentifikasi
dengan jelas dan semuanya masih tenggelam dalam keesaan dirinya. Karena itu,
tingkatan ini disebut juga jam‘ al-jam‘ atau Aḥadiyah al-Aḥad,
menurut Ibnu ‘Arabi. Namun, menurut Ibnu ‘Arabi, ada perbedaan Aḥadiyah al-Aḥad
dengan aḥadīyah, di mana yang pertama merupakan ketunggalan relatif atau
ketunggalan dari yang banyak, sedangkan yang kedua memosisikan Tuhan
betul-betul berada dalam ketunggalan atau keesaan mutlak.[6]
2.
Martabat wahdah (ta’ayyun awwal)
Martabat wahdah
adalah ibarat berhimpunnya tanzīh dan tashabbuh dan berhimpunnya iṭlāq dan
taqyid. Tuhan dan Muhammad adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tuhan adalah zat yan nyata, sedangkan Muhammad sebagai bagian dari zat itu.
Secara etimologi tanzīh berarti jauh dan tashabbuh (tashbīh) berarti
menyerupai. Tanzīh berasal dari kata nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan
membersihkan. Tanzīh adalah sesuatu yang seringkali dipakai untuk menggambarkan
di mana Tuhan dan makhluk-Nya sangat jauh dan tak terbandingkan. Adapun
tashabbuh (tashbīh) berasal dari shabbaha yang bermakna menyerupakan, yaitu
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Tashbīh adalah terma yang
digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam
sebagai makhluk-Nya karena alam adalah lokus penampakan diri Tuhan.
Disini terjadi
tajalli dzat pada sifat atau fayd aqdas (limpahan paling suci), yang
dengan sifat itu diketahui keadaan dzat. Dalam peringkat ini dzat yang mujarrod
itu bertajalli melalui sifat dan nama. Dengan tajalli ini dzat tersebut
dinamakan Allah, pengumpul dan pengikat sifat-sifat dan nama yang maha sempurna
(Al-Asma’ al-Husna, Allah). Akan tetapi sifat dan asma itu sendiri identik
dengan dzat. Disini kita berhadapan dengan dzat Allah Yang Maha Esa, tetapi ia
mengandung di dalam diri-Nya berbagai betuk potensial dari hakikat alam semesta
yang disebut a’yan tsabitah (entitas-entitas permanen).
3.
Martabat Wahidiyah (ta’ayyun tsani) /(asma Allah)
Martabat ini
dikenal sebagai ta’ayyun tsani karena pada tingkatan ini Allah dapat dikenal
oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya yang menunjukkan Dzat Allah. Berbeda
dengan martabat aḥadīyah atau ta‘ayyun awwal, di mana Tuhan masih dalam
tataran sir al-asrār, maka pada tingkatan wahidiyah Tuhan sudah memiliki unsur
distingsi dan identiëkasi nama dan sifat-sifat. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan
berada dalam level wahidiyah karena menyingkap tentang diri-Nya. Hal semacam
ini sering disebut dengan maẓahir al-asma’ atau al-a‘yan. Pada
tingkatan ini, Tuhan juga disebut dengan al-a‘ya“Martabat wāḥidiyah, artinya
atas (asas) yang bernama martabat ta‘ayyun thani artinya, nyata; yang
kedua, dan asma’ Allāh pun namanya yakni Allah bernama raḥman, Muhammad bernama
a‘yan. Arti raḥman itu Maha Murah, yakni nyatalah murah Allah sebab bernama
murah karena ia af‘al Allah, yakni perbuatan. Adapun murad perbuatan itu
nyatalah yang dimuati Allah dalam ilmu-Nya, itulah maklumat, yakni segala diketahui
Allah yang dinamai a‘yan thabitah. Artinya, nyata yang tetap dalam ilmu Tuhan
seperti nyatalah kasar dan halus seperti nyata langit dengan langit-Nya dan
nyata bumi dengan buminya dan nyata arsy dengan arsy dan kursi dengan kursinya
dan manusia dengan manusia dengan manusianya dan binatang dengan binatangnya”.
Dalam martabat
tsani ini Allah bertajalli melalui nama dan sifatnya dalam keadaan empiris.
Tuhan menampakkan citra diri-Nya kedalam kenyataan empiris. Dengan kata lain
melalui firman kun (jadilah), maka a’yan tsabitah secara aktual menjelma dalam
beberapa citra (suwar) alam empiris. Tuhan menampakkan citra dirinya ke dalam
wujud tersendiri dengan masing-masing wujud sebagai penampakan dari
nama-nama-Nya. Yang pertama muncul ialah al-jism al-kulli (jasad
universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan al-Dzahir (Yang Maha
Nyata), lalu al-syaikh al-kulli (bentuk universal) sebagai tajalli sifat
Tuhan, al-hakim (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya arsy tajalli sifat
al-muhit , kursi tajalli sifat al-syakur , falak bintang-bintang
tajalli sifat al-Ghani, falak berorbit tajalli sifat al-muqtadir.
Setelah itu muncul berturut-turut sesuai dengan nama-nama Tuhan, langit pertama
hingga ke enam dan langit dunia, api, udara, air, tanah, mineral,
tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia, dan terakhir insan kamil. Insan
kamil terakhir terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai akhir nabi-nabi.
Dengan kata lain, alam ini adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan
manifestasi tajalli Tuhan.
4.
Martabat Alam Arwah.
“Martabat ‘alam
arwaḥ. Artinya martabat segala nyawa, yakni mengikat segala nyawa itu nur
Allah, (cahaya Allah) yakni yang memerintah pada segala alam dan yang
menggerakkan segala alam. Itulah bayang-bayang wujud pada ibarat bayang-bayang
dengan empunya bayang-bayang, dua daripada pihak ta‘ayyun-nya dan pada isyarat
atas juga daripada pihak hakikatnya. Demikianlah ‘ālam arwāḥ bernama Allah,
cahaya dengan empunya cahayanya atas juga, tiada lain. Itu pun wujud Allah
taala juga, seperti seorang diam pada tempat yang mulia, maka mulia namanya dan
diam pada tempat yang hina, maka yang hina ia bermula mulia, dan hina hanya ia
juga”.
Adapun ‘ālam
arwāḥ yang dimaksudkan di sini adalah ibarat segala sesuatu dari yang ada di
alam ini dalam keadaan murni dan merupakan keutuhan yang atomis zatnya.
Martabat ini merupakan pokok permulaan segala nyawa, baik bagi manusia maupun
makhluk lain.
5.
Martabat ‘Alam Mitsal
Yaitu
perumpamaan keadaan selain keadaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada
perumpamaannya dalam alam mitsal ini. Karena hanya sebagai perumpamaan keadaannya
halus sehingga tidak dapat dicapai oleh panca indera. “martabat ‘alam mithal,
artinya alam segala bagi, yakni bagi segala rupa jism yang halus yang tiada
menerima setengah dan tiada menerima jarak dan pasak. Dan itulah yang
menyerupai wujud Allah pada ahl al-isyārah rupa dengan yang punya rupa atas
tiada lain segala-gala melainkan pada ibarat juga dikata lain”. Martabat ‘alam
mithal adalah ibarat segala sesuatu kebendaan tersusun dalam susunan yang halus
tak dapat dipisah-pisah bagiannya. Secara sederhana barangkali dapat dijelaskan
bahwa ketika seseorang mampu membuka tabir yang menghijab dirinya, dia dapat
menembus masuk ke dalam suatu alam yang disebut dengan ‘ālam mithāl atau ‘ālam
khayāl istilah al-Ghazali, yang kemudian diterjemahkan William C.Chittick
dengan the Imaginal Wolrd Alam ini juga sering disebut dengan alam barzakh,
karena berada di antara alam syahadah mutlak dan alam gaib. Alam barzakh bukan
hanya dapat diakses oleh para nabi tetapi juga oleh auliya dan orangorang
pilihan Tuhan. Martabat ‘ālam mithāl, yaitu alam yang sudah tersusun dari
unsurunsur yang halus, tetapi tidak akan mengalami cerai-berai, usang, atau
rusak. Martabat ini merupakan kehendak Allah untuk mengadakan rupa yang nyata
dalam wujud ilmu-Nya yang tersusun namun tidak beraturan dan tidak akan rusak,
inilah yang dimaksud dengan cahaya gaib. Alam misal adalah alam segala rupa
yang telah diisi dengan nyawa dan mulai menerima nasib.
6.
Martabat ‘Alam Ajsam
Pada martabat
‘Alam Ajsam ini segala keadaan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan
segala keadaan dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini juga disebut sebagai
alam syahadah, artinya alam yang nyata karena dapat diselidiki oleh
pancaindera. Alam yang pertama kali diciptaka Allah adalah arsy, kursi,
kemudian lauh mahfuz. Setelah itu baru ketujuh lapis bumu dan tujuh lapis langit yang disebut wujud ada, sedangkan bumi
disebut wujud ummahat.
Martabat ‘alam
ajsam, yaitu alam yang tersusun dari unsur-unsur yang kasar dan dapat
mengalami perceraiberaian. Martabat ini merupakan kehendak Allah yang
diibaratkan susunan yang beraturan seperti bumi dan langit, ketika nyawa selah
bertemu dengan pancaindra zahir. Alam Ajsam adalah alam segala tubuh, rupa
tubuh sekalian insan, dan rupa kalbu serta rohnya.
7.
Martabat Alam Insan (manusia)
Terakhir adalah
martabat ‘alam insan. Alam ini disebut martabat jami’iyyat, yang merupakan
tingkat yang mengumpulkan segala dadil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu
sifat jalal dan jamal. Maknanya adalah martabat yang mencakup semua martabat di
atas, baik yang rohani (nurani) dan jasmani, wahdah dan wahidiyah, yang ilahi
dan yang tampak dalam berbagai pakaian. Dalam konsep Ibnu Arabi dan Abd
al-Karim al-Jili, insan kamil adalah lokus penampakan diri Tuhan paling
sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tuhan memilih manusia sebagai
makhluk yang memiliki keunggulan atau bentuk yang terbaik bila dibandingkan
dengan yang lain. Manusia adalah satu-satunya makhluk teomorës dan
eksistensialis. Kesempurnaan lain manusia adalah perpaduan antara lahir dan
batin. Inilah yang disimpulkan oleh Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya
bahwa “aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan”.
Pada tahap ini seseorang sampai kepada apa yang dikatakan oleh Nabi sebagai man
naẓara ilā shay’in wa lam yurāllāhu fīhi fahuwa bāṭilun artinya barang
siapa menilik kepada sesuatu maka tiada dilihatnya Allah di dalamnya, maka
sia-sialah tilikannya itu.
Konsep martabat
tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam alam semesta,
termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan.
Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal, baik oleh indra, akal, maupun
khayal. Dia baru dapat dikenal setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat
sehingga muncul alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek
lahir dari Tuhan. Menurut Abd Rahim Yunus identitas cara penggambaran ini
menunjukkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud, dan wujudnya tidak
berbentuk, tidak terbatas, dan tidak terhingga.
Konsep martabat
tujuh cenderung berhubungan dengan teori tanazzul dalam tasawuf. Tanazzul (Tanzil)
diartikan sebagaio turunnya wujud dengan penyingkapan Tuhan dari kegaiban ke
alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori ini menggambarkan
bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran dari wujud sejati,
yang merupakan wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk
manifestasi wijud secara hirearki wujud atau gradasi wujud. Poses penurunan ini
dalam referensi sufi dinamakan dengan tanazzul yang dikenal melalui
bentuk penyingkapan diri (tajalli). [7]
C.
Sikap menengahi penentangan terhadap Martabat tujuh
Ajaran Martabat
Tujuh sering mendapat banyak tantangan. Diantaranya di kehadiran ajaran
Martabat Tujuh yang terkandung dalam naskah Asrār al-Khafī di ranah Minangkabau
itu telah mengundang reaksi keras dari kaum mudo dan dari jamaah tarekat
Naqshabandīyah. Sebagai konsekuensi logis dari munculnya penentangan dari dua
kelompok tersebut, ajaran Martabat Tujuh yang terkandung dalam naskah Asrār
al-Khafī itu dilucuti dari paham waḥdatul wujūd. Dalam martabat tujuh ketika
masuk di ranah Minang sedikit ada ajaran modifikasi ajaran agar dapat eksis dan
tidak dicap sebagai aliran bid’ah dan sesat oleh masyarakat setempat.
Seperti yang
telah dijelaskan diatas bahwasannya ajaran Martabat Tujuh yang menjadi bagian
penting dalam tradisi tasawuf Nusantara itu ditemukan dalam Risalah Syatariyah.
Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa ajaran semacam itu dinamakan sebagai
wahdatul wujuh (kesatuan esensi realitas yang ada). Dalam Risalah teresbut
dijelaskan bahwasannya uraian tersebut ada meskipun secara sistematis tidak
secara sistematis diuraikan secara Tajalli (manifestasi Tuhan).
Tajalli
diartikan sebagai terungkapnya nur gaib berupa kemuliaan atau rahmat yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang telah mengosongkan diri (takhalli)
dari perbuatan tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (tahalli)
sehingga dapat melahirkan tajalli. Konsep Tajalli bertolak dari pandangan bahwa
Allah Swt. Dalam kesendiriannya dalam batas ruang dan waktu, ingin melihat
dirinya diri-Nya diluar diri-Nya. Dijadikannya alam sebagai cermin bagi Allah
swt. Ketika Dia ingin melihat diri-Nya Dia melihat pada alam. Dalam versi lain
diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk dikenal, maka Dia pun menampakkan
diri-Nya dalam bentuk tajalli. [8]
Para pembahas
Martabat Tujuh di Pulau Jawa mengenal ungkapan
“ Ia dudu iku iya iku, sejatine iku iya” (bukan itu iya ini,
sesungguhnya memang iya), artinya bahwa hakikat ini dan itu sama, itu-itu juga.
Ungkapan ini yang kemudian dalam istilah Haji Hasan Musthafa dikenal dengan
disebut aing da itu, disebut itu da ang (apabila dikatakan aku kenyataannya
itu, dan apabila dikatakan itu kenyataannya aku). Berdasarkan ungkapan itulah
banyak yang mengidentifikasikan ajaran Martabat Tujuh dengan wahdatul Wujuh
(manunggaling kawula Gusti).
Kecenderungan
kepada paham manunggaling (uninon-mistik) itulah yang ditolak keras oleh para
sufi bercorak Sunni di Indonesia, misalnya Nuruddin al-Raniri, Sayyid ‘Alawi
dan tokoh sufi lainnya. Ada beberpa tokoh sufi yang berbeda dengan dengan
mereka diantaranya Abd. Shamad al-Palimbani , Abd rouf al-Singkili, M. ‘Aidrus
dan al-Makasari, tetapi keempat sufi tersebut menggarisbawahi bahwa proses qurb
ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian keempat sufi tersebut lebih moderat memahami ajaran wujudiyyah/
Martabat Tujuh sehingga ada yang menyebut aliran tasawuf mereka bercorak
neo-sufisme (mengambil jalan tengah).
Hemat saya
sebenarnya ada alasan-alasan yang menyebankan ajaran martabat Tujuh ini sering
mengalami tentangan. Hal ini karena sesuatu yang disampaian Bukan pada maqamnya
akan dirasa tidak cocok. Artinya apa yang disampaiakan oleh para Sufi yang mencapai
Paham Wahdatul Wujuh ini sesuai dengan tingkatannya yang telah mencapai puncak
tertinggi, tetapi jika dipahami oleh orang awwan seakan-akan apa yang
disampaikan menyeleweng dari ajaran agama jika ada batasan antara Tuhan dan
hamba. Jadi dalam menyikapi pertentangan ini lebih toleran sehingga tercipta
keseragaman dalam kedidupan masyarakat damai sejahtera.
V.
KESIMPULAN
Martabat Tujuh
adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India
pada sekitar abad ke 16 M yang lebih populer di Aceh dan kemudian ikut mewarnai
Mistisisme di Jawa. Martabat tujuh adalah ilmu mengenai ma‘rifatullāh. Martabat
tujuh menjelaskan bagaimana Allah menyingkapkan Diri kepada makhluk. Tujuh
tingkatan . Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep
wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi (1165-1254) yang sudah masuk ke
Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri awalnya diajarkan oleh para leluhur
muslim di tanah Jawa generasi Walisongo, Khususnya Syekh Siti Jenar yang
termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan
Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat dirunut lewat Serat Kaki Walaka.
Ada tujuh
tingkatan dalam martabat tujuh yang diantaranya: Martabat Ahadiyah, Martabat
wahdah, Martabat Wahidiyah, Martabat Alam Arwah, Martabat ‘Alam Mitsal,
Martabat ‘Alam Ajsam, Martabat Alam Insan (manusia). Konsep martabat tujuh
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam alam semesta, termasuk
manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan
sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal, baik oleh indra, akal, maupun khayal.
Dia baru dapat dikenal setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat sehingga
muncul alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari
Tuhan. Menurut Abd Rahim Yunus identitas cara penggambaran ini menunjukkan
bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud, dan wujudnya tidak berbentuk, tidak
terbatas, dan tidak terhingga.
Dalam
realitasnya, ajaran martabat tujuh atau wahdat al-wujuh dalam perspekfif Islam
ini dianggap sesat. Ajaran ini dianggap sesat oleh sebagian kelompok karena
menganggap Tuhan dan Makhluk adalah satu. Berbeda dengan sebuah pandangan bahwa
maklhuk adalah makhluk atau hamba Tuhan. Dalam ajaran ini dianggap mengesakan
makhluk dalam keesaan Tuhan. Untuk itu ajaran ini banyak ditentang. Dalam
menghadai pertentangan terkait martabat tujuh ini hendaknya kita bersikap
moderat, toleran. Hal ini karena sesuatu yang disampaian Bukan pada maqamnya
akan dirasa tidak cocok. Artinya apa yang disampaiakan oleh para Sufi yang
mencapai Paham Wahdatul Wujuh ini sesuai dengan tingkatannya yang telah
mencapai puncak tertinggi, tetapi jika dipahami oleh orang awwan seakan-akan
apa yang disampaikan menyeleweng dari ajaran agama jika ada batasan antara
Tuhan dan hamba
VI. PENUTUP
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Terima kasih atas
perhatiannya dan saya berharap kritik dan sarannya demi perbaikan makalah
selanjutnya.
[1] Abdurrahman El-Ashiy, Makfifat Jawa untuk Semua, (jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2011) hlm 283.
[2] Jurnal Penelitian sosial Keagamaan Walisongo, Volume 20, Nomor
2, November 2012.
[3] Amin Syukur, Islam dan spiritualitas Jawa, (Semarang: Rasail
Media Group, 2008), hlm 69-70.
[5] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm 248-250.
[6] Syaikh Abd’ Al-Mutalib, Jurnal Mannasa, Ajaran Martabat Tujuh dalam
Naskah Asrar al-Khafi, Vol.2. No 2 2012
[7] Azyumardi Azra, Ensiklopedi tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008),
hlm 1274.
[8] Azyumardi Azra, Ensiklopedi tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008),
hlm 1272.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar