Senin, 06 Juni 2016

martabat tujuh


I.                   ABSTRAK
Martabat Tujuh merupakan bagian penting dari tradisi tasawuf masyarakat Jawa di Nusantara. Ajaran ini sering kali ditemukan dalam Risalah Syattariyah di Gresik, Naskah Asrar Al-Khafi karya Syaikh Abd. Al-Mutalib di Minagkabau dalam serat cangkriman karya Raden Ngabehi Ranggawarsita di Semarang, At- Tuchfah karya Syaikh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri dan lain sebagainya. Sebagai ajaran sufistik-filosofis, ajaran martabat tujuh ini memiliki kaitan erat terhadap tradisi intelektual dan tradisi tasawuf masyarakat Jawa. Dalam tasawuf Islam, Martabat tujuh ini dikenal dengan wahdatul wujuh.
Kata Kunci          : Martabat Tujuh, Tasawuf Jawa, Whdat al-Wujuh.
II.                LATAR BELAKANG
Pulau Jawa adalah salah satu pulau dari sekian ribu kepulauan di Indonesia yang paling padat penduduknya dan memiliki banyak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah tersebut memiliki beberapa ciri khas dibandingkan dengan kebudayaan di daerah lainnya. Kebudayaan tersebut merupakan bentuk kekayaan intelektual budaya bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga keberadannya.
Salah satu budaya Jawa yang sudah tak asing bagi kita adalah martabat tujuh. Ajaran martabat ini berisikan gagasan mengenai manifestasi Tuhan dalam berbagai tingkatan maupun hubungan antara Tuhan dan manusia (hamba) itu sendiri. Dalam tasawuf Islam, martabat tujuh ini dikenal dengan wahdah al- wujuh (kesatuan esensi realitas yang ada).
Wahdah al-wujuh merupakan ilmu tentang ma’rifatullah yang di dalamnya menjelaskan bagaimana Allah menyingkapkan diri pada makhluk, bagaimana Tuhan menyatu dalam diri makhluk. Ini Seperti perkataan syekh siti jenar dalam saat walisongo mengirimkan utusan untuk menemuinya. Ia mengatakan bahwa syehk siti jenar tidak ada yang ada adalah Allah.
Jika perkataan seperti ini dipahami oleh orang awwam akan menimbulkan berbagai kontroversi. Bahkan orang yang mengatakan ini dikatakan telah keluar dari islam (murtad). Tapi sebenarnya jika dipahami karena mungkin tingkatan orang tersebut telah berbeda makanya penafsiran dan pandangannya pun juga berbeda.
Melihat persolan seperti ini penulis ingin lebih dalam mengetahui bagaimana sebenarnya  martabat tujuh dalam budaya jawa, bagaimana keterkaitan antara martabat tujuh dalam tradisi jawa dan wahdatul wujuh dalam ilmu tasawuf, dan bagaimana solusi dalam menengahi terhadap pertentangan tersebut.
III.             RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana martabat tujuh dalam tradisi masyarakat Jawa?
2.      Bagaimana martabat tujuh dalam Islam?
3.      Bagaimana sikap dalam menengahi penentangan terhadap martabat tujuh?
IV.             PEMBAHASAN
A.    Martabat Tujuh dalam Tradisi Masyarakat Jawa
Martabat Tujuh adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India pada sekitar abad ke 16 M. Ajaran ini lebih populer di Aceh dan kemudian ikut mewarnai Mistisisme di Jawa. Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi (1165-1254) yang sudah masuk ke Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri awalnya diajarkan oleh para leluhur muslim di tanah Jawa generasi Walisongo, Khususnya Syekh Siti Jenar yang termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat dirunut lewat Serat Kaki Walaka. [1]
Martabat diartikan sebagai pencapaian hakekat, kasunyataan atau kenyataan (Martabat Iya etgese akarya ing kenyataan). Martabat tujuh adalah ilmu mengenai ma‘rifatullāh. Martabat tujuh menjelaskan bagaimana Allah menyingkapkan Diri kepada makhluk. Tujuh tingkatan penyingkapan tersebut adalah martabat Aḥadiyah, martabah Wahdah, martabat Wahidiyyah, martabat alam arwāh, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat alam insan. Martabat pertama adalah ma‘rifat tanzīh (pensucian), sedangkan martabat kedua sampai ketujuh adalah martabat tashbīh (nyata).[2]
Ajaran Martabat Tujuh adalah gagasan mengenai manifestasi Tuhan kedalam berbagai tingkatan. Bibit awal teori manifestasi Tuhan tersebut dikembangkan oleh Ibnu Arabi, yang memperkenalkan emanasi wujud Allah, melalui filsafat Neo-Platonisme. Ajaran Ibnu Arabi dikenal dengan waḥdah al wujud (kesatuan wujud). Gagasan Ibnu Arabi tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh Fadlullah Burhanpuri dalam kitab al-Tuḥfah ke dalam teori Martabat Tujuh. Di Indonesia ajaran ini berkembang lewat pemikiran Syamsuddin Sumatrani (murid Hamzah Fansuri), ajaran ini berkembang di setiap daerah di Indonesia seperti Minangkabau, Jawa Barat, Buton.
Berikut beberapa ajaran martabat tujuh yang terapat dalam kebudayaan jawa.
Dalam wirid hidayat jati gubahan martabat Tujuh Model Ranggawarsita.
1
Sajaratul yakin
Pohon kehidupan atau atman dalam
agama Hindu
2
Nur Muhammad
Ia merupakan sifat atma
3
Mi’ratul Haya’i
Kaca wirai, yang diidentikkan dengan
pramana dalam Serat Dewa Ruci. Ia
merupakan asma atma
4
Roh Idhofi
Nyawa yang jernih
5
Kandil
Lampu tanpa api, kandil juga diartikan
lampu yang tergantung tanpa kaitan,
menjadi bingkai atma
6
Dharrah
Artinya permata dan diakaui sebagai
perhiasan zat dan meriupakan pintu atma
7
Hijab
Tabir yang agung dan merupakan tempat atma

Gubahan martabat tujuh dalam model al-Palimbani
No
Penggunaan Intilah Martabat Tujuh
Arti dan makna
1
Ahadiyatul Ahadiyyah (an la
ta’ayyun/zat al-bahs)
Wujud Tuhan adalah memandang dengan
hatinya akan semata-mata wujut zat Tuhan
dengan iktibar sifat, asma dan af’alnya
2
Al-wahidah (al-ta’ayyun
al-awwal/haqiqat almuhammadiyah)
Ilmu Tuhan dengan wujud zat-Nya
dan segala sifat dan segala maujud
perhimpunan dengan tiada beda setengah
dengan setengahnya
3
Al-wahidiyah (haqiqat alinsaniyyah)


Ilmu Tuhan mengenai zat-Nya , sifatNya,
dan segala makhluk atas jalan
perceraiannya setengahnya daripada
setengahnya
4
Alam arwah (nur
Muhammad)
Keadaan sesuatu yang halus semata-mata
yang belum menerima susun dan berbeda
setengahnya
5
Alam misal
Keadaan suatu yang halu, yang tiada
menerima susun, yang tiada dapat
diceraikan setengahnya daripada
setengahnya dan tidak menerima pesuk
dan tiada menerima bertampal
6
Alam al-ajsam
Ibarat daripada keadaan suatu yang
dipersusun daripada empat perkara: api,
angin, tanah, dan air
7
Alam al-jami’ah (martabat alinsan/al-ta’ayyun al-akhir)
Martabat yang menghimpunan sekalian
martabat yang enam di atas

Martabat tujuh Model Hasan Musthafa.
No.

Penggunaan Istilah MT

1
Lautan ahadiyat
Mirasa katunggalan, dibukurna lautan
ajsam, mirasa jisim sahiji (ketuggalan asal
kekosongan yang sama sekali kosong, gaib
al-guyub, tiada sesutupun, la ta’yun).

Lautan wahdat
Mirasa pada mirasa, bulukarna ngambang
rasa, milang dua jadi hiji, jisim dua jadi
hiji (ketunggalan abdi dengan Gusti. Abdi
adalah dirinya sendiri sedangkan Gusti
adalah yang ada pada martabat ahadiyat)

Lautan wahidiyah
Mirasa loba bilangan, kapirasa jadi hiji,
bulukarna milang nyawa, loba-loba rasa
hiji, dibukuran ku jisimna, loba-loba rasa
hiji (berupa hakikat muhammadiyah,
hakiakt dari segala hakikat)

Lautan arwahna
Jisim loba-loba rasa hiji, dibukuran ku
jisimna, loba-loba rasa hiji (dunia nayawa
sebagai potensi yang akan melakukan
penampakan dan perwujudan menjadi jasad)

Lautan misal
Loba jisim hiji rupa, asalna alam sahiji
(martabat di mana potensi akan segera
menampakkan diri dalam bentuk jasad
dengan makna lain tidak ada bedanya orang
lain seperti saya, saya seperti orang lain).

Lautan ajsam
Kapirasa jadi hiji, perbawa ti ahadiyat, lima
laut dumukna di jisim hiji (ketunggalan
jasmani sebagai cermin dari manifestasi
hakikat muhammadiyah, sering juga
diibarwtkan dengan kasar dengan kasar
halus dengan halus)

Lautan keisnsanan
Taya luhura taya handap, asal sampurna
walatra, beda soteh pangersana paniramana
(martabat sempurna, tidak memiliki
kekuarangan, karena citra sepenuhnya dari
martabat ahadiyat)

Dalam budaya tradisi Masyarakat Jawa Konsep Martabat Tujuh dapat dilihat dari beberapa contoh tradisi  yang diantaranya Slametan, tradisi Mitoni, ruwatan, puasa, perkawinan adat Jawa, Sedekah Bumi, Nyadran dan lain sebagainya.
Salah satu adat Jawa yang kemudian dimasukkan ajaran islam didalamnya adalah Nyadran. Nyadran adalah salah satu bentuk upacara mengagungkan arwah leluhur. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam sesaji di rumah-rumah. Adat ini dilakukan pada bulan ruwah (Jawa) atau Sya’ban (Islam) dengan cara mengadakan tabur bunga di kubur (ziarah) kemudian orang-orang melakukan mandi suci untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Upacara adat ini pada zaman dahulu didahului dengan pemanggilan roh-roh halus, meminta berkah dan restu pada arwah. Datangnya Islam mengubah adat tersbut dengan tetap menjalankan ziarah dan tabur bungan, pembacaan doa dilakukan dengan cara Islami, membaca tahlil, sedangkan roh dan permohonan doa pada ruh dihilangkan doa diarahkan pada Allah Swt.[3]
Islam ternyata telah mewarnai hampir seluruh dihidupan Masyarakat Jawa, sehingga tidak jarang yang sebenarnya ajaran Islam diklaim sebagai khas Jawa. Menurut hemat saya antara Islam dan Jawa jika berpadu akan melahirkan kearifan lokal yang Islami. Antara Islam dan Budaya Jawa tidak boleh dipisahkan karena kebudayaan yang telah ada akan selalu dipertahankan masyarakat selama hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B.     Martabat tujuh dalam Islam
Martabat Tujuh adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India pada sekitar abad ke 16 M. Ajaran ini lebih populer di Aceh dan kemudian ikut mewarnai Mistisisme di Jawa. Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi (1165-1254) yang sudah masuk ke Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri awalnya diajarkan oleh para leluhur muslim di tanah Jawa generasi Walisongo, Khususnya Syekh Siti Jenar yang termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat dirinut lewat Serat Kaki Walaka.
Secara bahasa wahdat al-wujuh adalah ungkapan yang terdiri dari wahdal dan al-wujuh. Wahdat artinya tunggal, atau kesatuan. Sedangkan wujud artinya ada, keberadaan atau ekstensi. Dengan demikian wahdat al-wujuh adalah kesatuan eksistensi (unity of exsistence).
Doktrin wahdat al- wujuh senantiasa dihubungkan dengan seorang sufi yang bernama Ibnu Arabi (560-638 H). Istilah wahdat al-wujuh ini bukan dimunculkan Ibn Arabi sendiri. Menurut W.C Chittic, bahwa orang yang pertama menggunakan sitilah wahdat al-wujuh adalah Sadr al-Din al-Qunawi (murid Ibn Arabi yang w. 673 H/ 1274 M). Pemikiran ini bermula dari pandangannya dalam kitab “Futuhat al Makkiyah” yang menyatakan bahwa “ semua wujud adalah satu dalam realitas, tidak sesuatupun bersama dengannya. Wujud bukan lain adalah al-Haqq, karena tidak aad wujud lain sesuatupun dalam wujud Dia. Tidak ada yang tampak dalam wujud melalui wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-haqq dan Dia adalah satu.
Paham wahdat al-wujuh ini cenderung menyamakan Tuhan dengan alam semesta. Paham ini mengaku tidak ada perbedaan antara Tuhan dan makhluk. Kalau ada hanya pada keyakinan bahwa Allah SWT. Adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah bagian dari totalitas tersebut, dan Allah menampakkan diri pada apa saja yang ada di alam semesta. Semua adalah penjelmaan dari Allah Swt., tidak ada sesuatu apapun di alam semesta ini kecuali Allah dan semua mata menjadi tidak ada karena mata yang Dia menampakkan diri ke dalamnya.
Berikut ini martabat tujuh dalam perspektif QS. Al-Ikhlas[4]
Alam
Martabat
Simbol
Wujud

Alam Lahut
1.      Ahadiyah
Katakanlah (Muhammad)” Dia adalah Tuhan yang Maha Esa”
ö@è% uqèd ª!$# îymr&
La Ta’yun
Alam Jabarut
2.      Wahdah
Allah adalah tempat beragantung segala sesuatu
ª!$# ßyJ¢Á9$# 

Ta’yun Awwal

3.      wahidiyah 
Dia tidak beranak
öNs9 ô$Î#tƒ 

Ta’yun Tsani
Alam Malakut
4.      Alam Ruh
Dan Dia tidak dperanakkan
öNs9ur ôs9qム 

A’yan kharijiyyah
5.      Alam Mitsal
Dan tidak ada bagi-Nya
öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©!

Alam Mulk
6.      Alam Ajsam
Penyetaraan
#·qàÿà2
7.      Alam Insan
Esa
7ymr&


Selain itu Dalam  Undang-Undang kerajaan Button masa Sultan Dayyan Ihsan al-Din (1578-1615) disebutkan martabat Tujuh yang diantaranya:[5]
1.      Martabat Ahadiyah
Makna Aḥadīyah di sini dapat dipahami sebagai wujud Allah semata-mata yang tidak dapat dilihat oleh indera manusia, tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Walaupun di tengah terang benderangnya cahaya matahari, maka manusia tidak akan pernah melihat wujud Allah swt. Martabat Aḥadīyah sering disebut dengan sir al-asrār (sacred of the sacred). Ia juga sering disebut dengan gudang yang tersembunyi atau gaib al-guyūb, ḥaqīqah al-ḥaqā’iq. Aḥadīyah disebut ta‘ayyun pertama, di mana nama-nama dan sifat-sifat (al-asmā’ wa al-auṣaf) masih belum teridentifikasi dengan jelas dan semuanya masih tenggelam dalam keesaan dirinya. Karena itu, tingkatan ini disebut juga jam‘ al-jam‘ atau Aḥadiyah al-Aḥad, menurut Ibnu ‘Arabi. Namun, menurut Ibnu ‘Arabi, ada perbedaan Aḥadiyah al-Aḥad dengan aḥadīyah, di mana yang pertama merupakan ketunggalan relatif atau ketunggalan dari yang banyak, sedangkan yang kedua memosisikan Tuhan betul-betul berada dalam ketunggalan atau keesaan mutlak.[6]
2.      Martabat wahdah (ta’ayyun awwal)
Martabat wahdah adalah ibarat berhimpunnya tanzīh dan tashabbuh dan berhimpunnya iṭlāq dan taqyid. Tuhan dan Muhammad adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tuhan adalah zat yan nyata, sedangkan Muhammad sebagai bagian dari zat itu. Secara etimologi tanzīh berarti jauh dan tashabbuh (tashbīh) berarti menyerupai. Tanzīh berasal dari kata nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan membersihkan. Tanzīh adalah sesuatu yang seringkali dipakai untuk menggambarkan di mana Tuhan dan makhluk-Nya sangat jauh dan tak terbandingkan. Adapun tashabbuh (tashbīh) berasal dari shabbaha yang bermakna menyerupakan, yaitu menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Tashbīh adalah terma yang digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam sebagai makhluk-Nya karena alam adalah lokus penampakan diri Tuhan.
Disini terjadi tajalli dzat pada sifat atau fayd aqdas (limpahan paling suci), yang dengan sifat itu diketahui keadaan dzat. Dalam peringkat ini dzat yang mujarrod itu bertajalli melalui sifat dan nama. Dengan tajalli ini dzat tersebut dinamakan Allah, pengumpul dan pengikat sifat-sifat dan nama yang maha sempurna (Al-Asma’ al-Husna, Allah). Akan tetapi sifat dan asma itu sendiri identik dengan dzat. Disini kita berhadapan dengan dzat Allah Yang Maha Esa, tetapi ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai betuk potensial dari hakikat alam semesta yang disebut a’yan tsabitah (entitas-entitas permanen).
3.      Martabat Wahidiyah (ta’ayyun tsani) /(asma Allah)
Martabat ini dikenal sebagai ta’ayyun tsani karena pada tingkatan ini Allah dapat dikenal oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya yang menunjukkan Dzat Allah. Berbeda dengan martabat aḥadīyah atau ta‘ayyun awwal, di mana Tuhan masih dalam tataran sir al-asrār, maka pada tingkatan wahidiyah Tuhan sudah memiliki unsur distingsi dan identiëkasi nama dan sifat-sifat. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan berada dalam level wahidiyah karena menyingkap tentang diri-Nya. Hal semacam ini sering disebut dengan maẓahir al-asma’ atau al-a‘yan. Pada tingkatan ini, Tuhan juga disebut dengan al-a‘ya“Martabat wāḥidiyah, artinya atas (asas) yang bernama martabat ta‘ayyun thani artinya, nyata; yang kedua, dan asma’ Allāh pun namanya yakni Allah bernama raḥman, Muhammad bernama a‘yan. Arti raḥman itu Maha Murah, yakni nyatalah murah Allah sebab bernama murah karena ia af‘al Allah, yakni perbuatan. Adapun murad perbuatan itu nyatalah yang dimuati Allah dalam ilmu-Nya, itulah maklumat, yakni segala diketahui Allah yang dinamai a‘yan thabitah. Artinya, nyata yang tetap dalam ilmu Tuhan seperti nyatalah kasar dan halus seperti nyata langit dengan langit-Nya dan nyata bumi dengan buminya dan nyata arsy dengan arsy dan kursi dengan kursinya dan manusia dengan manusia dengan manusianya dan binatang dengan binatangnya”.
Dalam martabat tsani ini Allah bertajalli melalui nama dan sifatnya dalam keadaan empiris. Tuhan menampakkan citra diri-Nya kedalam kenyataan empiris. Dengan kata lain melalui firman kun (jadilah), maka a’yan tsabitah secara aktual menjelma dalam beberapa citra (suwar) alam empiris. Tuhan menampakkan citra dirinya ke dalam wujud tersendiri dengan masing-masing wujud sebagai penampakan dari nama-nama-Nya. Yang pertama muncul ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan al-Dzahir (Yang Maha Nyata), lalu al-syaikh al-kulli (bentuk universal) sebagai tajalli sifat Tuhan, al-hakim (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya arsy tajalli sifat al-muhit , kursi tajalli sifat al-syakur , falak bintang-bintang tajalli sifat al-Ghani, falak berorbit tajalli sifat al-muqtadir. Setelah itu muncul berturut-turut sesuai dengan nama-nama Tuhan, langit pertama hingga ke enam dan langit dunia, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia, dan terakhir insan kamil. Insan kamil terakhir terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai akhir nabi-nabi. Dengan kata lain, alam ini adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan manifestasi tajalli Tuhan.
4.      Martabat Alam Arwah.
“Martabat ‘alam arwaḥ. Artinya martabat segala nyawa, yakni mengikat segala nyawa itu nur Allah, (cahaya Allah) yakni yang memerintah pada segala alam dan yang menggerakkan segala alam. Itulah bayang-bayang wujud pada ibarat bayang-bayang dengan empunya bayang-bayang, dua daripada pihak ta‘ayyun-nya dan pada isyarat atas juga daripada pihak hakikatnya. Demikianlah ‘ālam arwāḥ bernama Allah, cahaya dengan empunya cahayanya atas juga, tiada lain. Itu pun wujud Allah taala juga, seperti seorang diam pada tempat yang mulia, maka mulia namanya dan diam pada tempat yang hina, maka yang hina ia bermula mulia, dan hina hanya ia juga”.
Adapun ‘ālam arwāḥ yang dimaksudkan di sini adalah ibarat segala sesuatu dari yang ada di alam ini dalam keadaan murni dan merupakan keutuhan yang atomis zatnya. Martabat ini merupakan pokok permulaan segala nyawa, baik bagi manusia maupun makhluk lain.
5.      Martabat ‘Alam Mitsal
Yaitu perumpamaan keadaan selain keadaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada perumpamaannya dalam alam mitsal ini. Karena hanya sebagai perumpamaan keadaannya halus sehingga tidak dapat dicapai oleh panca indera. “martabat ‘alam mithal, artinya alam segala bagi, yakni bagi segala rupa jism yang halus yang tiada menerima setengah dan tiada menerima jarak dan pasak. Dan itulah yang menyerupai wujud Allah pada ahl al-isyārah rupa dengan yang punya rupa atas tiada lain segala-gala melainkan pada ibarat juga dikata lain”. Martabat ‘alam mithal adalah ibarat segala sesuatu kebendaan tersusun dalam susunan yang halus tak dapat dipisah-pisah bagiannya. Secara sederhana barangkali dapat dijelaskan bahwa ketika seseorang mampu membuka tabir yang menghijab dirinya, dia dapat menembus masuk ke dalam suatu alam yang disebut dengan ‘ālam mithāl atau ‘ālam khayāl istilah al-Ghazali, yang kemudian diterjemahkan William C.Chittick dengan the Imaginal Wolrd Alam ini juga sering disebut dengan alam barzakh, karena berada di antara alam syahadah mutlak dan alam gaib. Alam barzakh bukan hanya dapat diakses oleh para nabi tetapi juga oleh auliya dan orangorang pilihan Tuhan. Martabat ‘ālam mithāl, yaitu alam yang sudah tersusun dari unsurunsur yang halus, tetapi tidak akan mengalami cerai-berai, usang, atau rusak. Martabat ini merupakan kehendak Allah untuk mengadakan rupa yang nyata dalam wujud ilmu-Nya yang tersusun namun tidak beraturan dan tidak akan rusak, inilah yang dimaksud dengan cahaya gaib. Alam misal adalah alam segala rupa yang telah diisi dengan nyawa dan mulai menerima nasib.
6.      Martabat ‘Alam Ajsam
Pada martabat ‘Alam Ajsam ini segala keadaan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan segala keadaan dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini juga disebut sebagai alam syahadah, artinya alam yang nyata karena dapat diselidiki oleh pancaindera. Alam yang pertama kali diciptaka Allah adalah arsy, kursi, kemudian lauh mahfuz. Setelah itu baru ketujuh lapis bumu dan tujuh lapis  langit yang disebut wujud ada, sedangkan bumi disebut wujud ummahat.    
Martabat ‘alam ajsam, yaitu alam yang tersusun dari unsur-unsur yang kasar dan dapat mengalami perceraiberaian. Martabat ini merupakan kehendak Allah yang diibaratkan susunan yang beraturan seperti bumi dan langit, ketika nyawa selah bertemu dengan pancaindra zahir. Alam Ajsam adalah alam segala tubuh, rupa tubuh sekalian insan, dan rupa kalbu serta rohnya.
7.      Martabat Alam Insan (manusia)
Terakhir adalah martabat ‘alam insan. Alam ini disebut martabat jami’iyyat, yang merupakan tingkat yang mengumpulkan segala dadil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal. Maknanya adalah martabat yang mencakup semua martabat di atas, baik yang rohani (nurani) dan jasmani, wahdah dan wahidiyah, yang ilahi dan yang tampak dalam berbagai pakaian. Dalam konsep Ibnu Arabi dan Abd al-Karim al-Jili, insan kamil adalah lokus penampakan diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tuhan memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan atau bentuk yang terbaik bila dibandingkan dengan yang lain. Manusia adalah satu-satunya makhluk teomorës dan eksistensialis. Kesempurnaan lain manusia adalah perpaduan antara lahir dan batin. Inilah yang disimpulkan oleh Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya bahwa “aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan”. Pada tahap ini seseorang sampai kepada apa yang dikatakan oleh Nabi sebagai man naẓara ilā shay’in wa lam yurāllāhu fīhi fahuwa bāṭilun artinya barang siapa menilik kepada sesuatu maka tiada dilihatnya Allah di dalamnya, maka sia-sialah tilikannya itu.
Konsep martabat tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam alam semesta, termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal, baik oleh indra, akal, maupun khayal. Dia baru dapat dikenal setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat sehingga muncul alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari Tuhan. Menurut Abd Rahim Yunus identitas cara penggambaran ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud, dan wujudnya tidak berbentuk, tidak terbatas, dan tidak terhingga.
Konsep martabat tujuh cenderung berhubungan dengan teori tanazzul dalam tasawuf. Tanazzul (Tanzil) diartikan sebagaio turunnya wujud dengan penyingkapan Tuhan dari kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori ini menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran dari wujud sejati, yang merupakan wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wijud secara hirearki wujud atau gradasi wujud. Poses penurunan ini dalam referensi sufi dinamakan dengan tanazzul yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli). [7]

C.     Sikap menengahi penentangan terhadap Martabat tujuh
Ajaran Martabat Tujuh sering mendapat banyak tantangan. Diantaranya di kehadiran ajaran Martabat Tujuh yang terkandung dalam naskah Asrār al-Khafī di ranah Minangkabau itu telah mengundang reaksi keras dari kaum mudo dan dari jamaah tarekat Naqshabandīyah. Sebagai konsekuensi logis dari munculnya penentangan dari dua kelompok tersebut, ajaran Martabat Tujuh yang terkandung dalam naskah Asrār al-Khafī itu dilucuti dari paham waḥdatul wujūd. Dalam martabat tujuh ketika masuk di ranah Minang sedikit ada ajaran modifikasi ajaran agar dapat eksis dan tidak dicap sebagai aliran bid’ah dan sesat oleh masyarakat setempat.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasannya ajaran Martabat Tujuh yang menjadi bagian penting dalam tradisi tasawuf Nusantara itu ditemukan dalam Risalah Syatariyah. Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa ajaran semacam itu dinamakan sebagai wahdatul wujuh (kesatuan esensi realitas yang ada). Dalam Risalah teresbut dijelaskan bahwasannya uraian tersebut ada meskipun secara sistematis tidak secara sistematis diuraikan secara Tajalli (manifestasi Tuhan).
Tajalli diartikan sebagai terungkapnya nur gaib berupa kemuliaan atau rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang telah mengosongkan diri (takhalli) dari perbuatan tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) sehingga dapat melahirkan tajalli. Konsep Tajalli bertolak dari pandangan bahwa Allah Swt. Dalam kesendiriannya dalam batas ruang dan waktu, ingin melihat dirinya diri-Nya diluar diri-Nya. Dijadikannya alam sebagai cermin bagi Allah swt. Ketika Dia ingin melihat diri-Nya Dia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk dikenal, maka Dia pun menampakkan diri-Nya dalam bentuk tajalli. [8]
Para pembahas Martabat Tujuh di Pulau Jawa mengenal ungkapan  “ Ia dudu iku iya iku, sejatine iku iya” (bukan itu iya ini, sesungguhnya memang iya), artinya bahwa hakikat ini dan itu sama, itu-itu juga. Ungkapan ini yang kemudian dalam istilah Haji Hasan Musthafa dikenal dengan disebut aing da itu, disebut itu da ang (apabila dikatakan aku kenyataannya itu, dan apabila dikatakan itu kenyataannya aku). Berdasarkan ungkapan itulah banyak yang mengidentifikasikan ajaran Martabat Tujuh dengan wahdatul Wujuh (manunggaling kawula Gusti).      
Kecenderungan kepada paham manunggaling (uninon-mistik) itulah yang ditolak keras oleh para sufi bercorak Sunni di Indonesia, misalnya Nuruddin al-Raniri, Sayyid ‘Alawi dan tokoh sufi lainnya. Ada beberpa tokoh sufi yang berbeda dengan dengan mereka diantaranya Abd. Shamad al-Palimbani , Abd rouf al-Singkili, M. ‘Aidrus dan al-Makasari, tetapi keempat sufi tersebut menggarisbawahi bahwa proses qurb ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. Dengan demikian keempat sufi tersebut lebih moderat memahami ajaran wujudiyyah/ Martabat Tujuh sehingga ada yang menyebut aliran tasawuf mereka bercorak neo-sufisme (mengambil jalan tengah).
Hemat saya sebenarnya ada alasan-alasan yang menyebankan ajaran martabat Tujuh ini sering mengalami tentangan. Hal ini karena sesuatu yang disampaian Bukan pada maqamnya akan dirasa tidak cocok. Artinya apa yang disampaiakan oleh para Sufi yang mencapai Paham Wahdatul Wujuh ini sesuai dengan tingkatannya yang telah mencapai puncak tertinggi, tetapi jika dipahami oleh orang awwan seakan-akan apa yang disampaikan menyeleweng dari ajaran agama jika ada batasan antara Tuhan dan hamba. Jadi dalam menyikapi pertentangan ini lebih toleran sehingga tercipta keseragaman dalam kedidupan masyarakat damai sejahtera.

V.                KESIMPULAN
Martabat Tujuh adalah ajaran dari Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri yang hidup di India pada sekitar abad ke 16 M yang lebih populer di Aceh dan kemudian ikut mewarnai Mistisisme di Jawa. Martabat tujuh adalah ilmu mengenai ma‘rifatullāh. Martabat tujuh menjelaskan bagaimana Allah menyingkapkan Diri kepada makhluk. Tujuh tingkatan . Martabat Sab’ah ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep wahdatul Wujuh yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi (1165-1254) yang sudah masuk ke Jawa lebih dahulu. Wahdatul Wujuh sendiri awalnya diajarkan oleh para leluhur muslim di tanah Jawa generasi Walisongo, Khususnya Syekh Siti Jenar yang termashur. Sunan Kalijaga juga melakukannya tapi lebih tertutup. Adaptasi Sunan Kalijaga terhadap Wahdah al-Wujuh dapat dirunut lewat Serat Kaki Walaka.
Ada tujuh tingkatan dalam martabat tujuh yang diantaranya: Martabat Ahadiyah, Martabat wahdah, Martabat Wahidiyah, Martabat Alam Arwah, Martabat ‘Alam Mitsal, Martabat ‘Alam Ajsam, Martabat Alam Insan (manusia). Konsep martabat tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam alam semesta, termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal, baik oleh indra, akal, maupun khayal. Dia baru dapat dikenal setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat sehingga muncul alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari Tuhan. Menurut Abd Rahim Yunus identitas cara penggambaran ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud, dan wujudnya tidak berbentuk, tidak terbatas, dan tidak terhingga.
Dalam realitasnya, ajaran martabat tujuh atau wahdat al-wujuh dalam perspekfif Islam ini dianggap sesat. Ajaran ini dianggap sesat oleh sebagian kelompok karena menganggap Tuhan dan Makhluk adalah satu. Berbeda dengan sebuah pandangan bahwa maklhuk adalah makhluk atau hamba Tuhan. Dalam ajaran ini dianggap mengesakan makhluk dalam keesaan Tuhan. Untuk itu ajaran ini banyak ditentang. Dalam menghadai pertentangan terkait martabat tujuh ini hendaknya kita bersikap moderat, toleran. Hal ini karena sesuatu yang disampaian Bukan pada maqamnya akan dirasa tidak cocok. Artinya apa yang disampaiakan oleh para Sufi yang mencapai Paham Wahdatul Wujuh ini sesuai dengan tingkatannya yang telah mencapai puncak tertinggi, tetapi jika dipahami oleh orang awwan seakan-akan apa yang disampaikan menyeleweng dari ajaran agama jika ada batasan antara Tuhan dan hamba
VI. PENUTUP
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Terima kasih atas perhatiannya dan saya berharap kritik dan sarannya demi perbaikan makalah selanjutnya.





[1] Abdurrahman El-Ashiy, Makfifat Jawa untuk Semua, (jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2011) hlm 283.
[2] Jurnal Penelitian sosial Keagamaan Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012.

[3] Amin Syukur, Islam dan spiritualitas Jawa, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), hlm 69-70.

[5] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 248-250.
[6] Syaikh Abd’ Al-Mutalib, Jurnal Mannasa, Ajaran Martabat Tujuh dalam Naskah Asrar al-Khafi, Vol.2. No 2 2012
[7] Azyumardi Azra, Ensiklopedi tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm 1274.
[8] Azyumardi Azra, Ensiklopedi tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm 1272.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar